Anak-anak di Medan Perang

Standar

Gambar

Perang merupakan lingkungan paling keji yang harus dihadapi anak-anak. Tak tergambarkan bagaimana rangkaian penderitaan harus dihadapi anak-anak. Dalam lingkungan serba buruk seperti itu, anak-anak terpaksa atau dipaksa, menjalani nasibnya. Sebagaimana nasib anak-anak di wilayah Gaza, Palestina, yang beberapa hari belakangan ini menjadi korban serangan tentara Israel. Berbagai laporan menyebutkan, puluhan orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka akibat serangan bom dan rudal tentara Israel. Meski dalihnya, serangan itu ditujukan terhadap tokoh Hamas, kenyataannya yang menjadi korban adalah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

Israel memang sering menjadikan anak-anak Palestina sebagai sasaran serangannya. Bukti akan hal itu dibeberkan oleh “Breaking the Silence” yang terdiri dari sejumlah mantan tentara Zionis, bulan Agustus 2012 lalu. Dalam 30 persaksian berbahasa Inggris setebal 72 halaman, diungkapkan tentang kebiasaan tentara Israel menggunakan kekerasan fisik terhadap anak-anak yang masih kecil meski penyebabnya hanya gara-gara mereka melempari tentara Israel dengan batu. Aksi penyiksaan ini terjadi antara tahun 2005-2011, setelah intifadah kedua, yang justru merupakan fase tenang. Rupanya, jaksa militer Israel melabeli setiap anak Palestina sebagai bibit teroris.

Gambar

Situasi terburuk memang senantiasa dihadapi anak-anak yang berada di medan perang. Kasus perang Yaman merupakan contah lain. Laporan UNICEF yang dilansir Oktober lalu menyebutkan bahwa ribuan anak tewas dan cidera selama pertempuran antara pasukan pemerintah dengan gerilyawan di Yaman. Konflik di wilayah itu mengakibatkan lebih dari 300 ribu orang terpaksa mengungsi di mana 60 persen di antaranya anak-anak. Laporan sejumlah lembaga menyebutkan, 8 persen keluarga pengungsi memiliki satu anak yang tewas karena perang. Kalaupun mereka selamat, pemandangan yang disaksikannya tak kalah mengerikan. Menurut laporan itu, 21 persen anak mengaku melihat orang yang dilukai atau terluka, dan 7 persen melihat orang dibunuh.

Tentara Anak

Di medan perang pilihannya memang tidak banyak bagi anak-anak, sehingga tidak jarang mereka ikut terlibat dalam aksi-aksi perlawanan. Bahkan, anak-anak direkrut sebagai tentara dengan misi bersenjata yang sangat brutal dan sadis. Di berbagai belahan dunia terdapat lebih dari 50 konflik bersenjata, di mana diperkirakan ada 300 ribu personel tentara anak mengambil peran di dalamnya.

Bagaimana proses perekrutan tentara anak itu tergambarkan dalam dokumen Organisasi HAM Earth Right International (ERI), yang mengkaji tentara Burma dari rezim tidak sah, The State Law and Order Restoration Council (SLORC). Tentara ini lebih dikenal dengan nama pyithu Tatmadaw atau orang-orang Tatmadaw. Dokumen yang dipublikasikan tahun 1998 itu, mengisahkan bahwa tentara Tatmadaw sebagian dipaksa mendaftarkan diri sebagai tentara di bawah todongan laras senapan. Sebagian yang lain dijanjikan akan memperoleh bayaran, namun tak pernah mereka dapatkan seluruhnya. Anak-anak di bawah usia 17 tahun yang sebagian besar tidak berpendidikan ini dilatih agar menjadi kejam, dibiarkan kelaparan, diberi alkohol dan obat terlarang, serta “diizinkan” untuk memerkosa perempuan-perempuan etnis minoritas. Karena itu, laporan tersebut diberi judul School for Rape, sebuah perkosaan sistematis yang merupakan kejahatan atas kemanusiaan.

Metode menggunakan obat-obatan terlarang untuk meningkatkan keberanian dan kekuatan tentara anak juga terjadi di Sierra Leone. Ismael Beah, yang pernah menjadi tentara anak pada umur 12 tahun, dalam memoarnya “A Long Way Gone” (2008), menuturkan bahwa dirinya dan teman-temannya dijejali berbagai macam narkoba, seperti amphetamine, mariyuana, dan campuran kokain dengan bubuk mesiu yang diberi nama brown-brown. Setelah menghisap brown-brown mereka berubah menjadi pembantai dan mampu tidak tidur hingga berhari-hari. Beah dan teman-temannya memang dilatih oleh pasukan pemerintah sebagai mesin pembunuh tanpa rasa takut dan belas kasihan terhadap pemberontak.

Sebagian tentara anak itu malah direkrut dalam usia sangat belia, 8 tahun. Seperti saat terjadinya konflik antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda. Meski Rwanda telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang melarang pelibatan anak-anak sebagai tentara. Tapi, ketika perang berkobar, mereka tidak memedulikan isi konvensi tersebut. Perang memperhadapkan setiap pihak untuk memobilisasi anak. Sebagai tentara, mereka tidak boleh menampakkan rasa lelah. Mereka dipaksa memanggul senjata, memberondongkan pelurunya sebanyak orang yang harus dihabisi nyawanya. Tidak mengherankan jika di majalah Time, seorang pendeta setempat pernah mengatakan, “Tak ada lagi iblis di neraka. Mereka semua ada di sini, di Rwanda.”

Gambar

Penderitaan Panjang

Cara anak-anak itu dibunuh kadang sedemikian mengerikan dan mungkin tak pernah terbayangkan oleh kita. Simak bagaimana tentara gerilya UNITA (Union for Total Independence of Angola) di Angola membunuh orang-orang sipil dan anak-anak tak berdosa. Pasukan bersenjata ini biasanya mengincar rumah-rumah petani saat musim panen, membunuh si ayah dan memerkosa si ibu atau membawanya pergi jika mereka suka. Bila si ibu menggendong bayi, mereka akan memaksanya melemparkan bayinya, lalu memotong tangan dan kaki bayi itu. Perlakuan yang sama dialami anak-anak kecil. Bedanya, tawanan kecil itu diikat dengan tali di pohon, dipotong tangannya, dan ditinggalkan sampai mati. Bagi anak-anak yang selamat, akan berakhir sebagai yatim piatu yang cacat seumur hidup. Sementara anak laki-laki dan perempuan usia produktif diculik untuk dijadikan pekerja paksa (Tetsuko Kuroyanagi, 2010).

Kalaupun perang berakhir, tidak berarti situasi normal akan pulih seketika. Ranjau-ranjau yang ditanam sebagai perangkap untuk membunuh musuh merupakan ancaman nyata bagi anak-anak di kawasan bekas konflik. Anak-anak yang tidak cukup paham dengan situasi berbahaya kerap jadi korban saat bermain di areal penuh ranjau yang mematikan. Sebagian dari mereka tidak jarang bekerja sebagai pembersih ranjau, seperti digambarkan dalam film “Turtle Can Fly”. Karena dibesarkan di kancah perang, anak-anak ini pun memiliki naluri berperang. Suatu ketika, ranjau-ranjau itu tak lagi dijual tapi dibarter dengan senjata AK-47 lengkap dengan amunisinya. Senjata hasil barteran itu lantas digunakan latihan menembak di dalam kelas.

Gambar

Dampak perang dalam jangka panjang akan terus dirasakan anak-anak. Di Vietnam, misalnya, meski perang yang melibatkan Amerika Serikat telah berakhir di negara itu beberapa tahun silam, namun jejak persoalannya masih membekas. Di Ho Chi Minh City, terdapat 80.000 anak gelandangan, 70.000 pekerja seks, dan pecandu narkoba yang jumlahnya tidak terlacak. Belum lagi 50 persen anak usia lima tahun yang menderita kekurangan gizi, atau anak-anak yang lahir tanpa memiliki bola mata akibat efek samping dari racun yang digunakan selama perang.

Skala kerusakan yang diakibatkan oleh perang terhadap anak-anak memang tidak cukup hanya ditampilkan dengan angka-angka statistik. Namun, lewat angka-angka itu, kita bisa membaca anatomi penderitaan yang terpaksa harus ditanggung anak-anak. UNICEF, tahun 1993, pernah melakukan survei terhadap anak-anak di Sarajevo, korban perang Bosni-Herzegovina. Survei itu menemukan bahwa 97 persen anak-anak di sana pernah mengalami serangan granat secara langsung, 29 persen sering kali merasakan kesedihan mendalam, dan 20 persen mengalami mimpi buruk secara rutin. Sekitar 55 persen anak pernah ditembak oleh penembak jitu, dan 66 persen pernah mendapati dirinya dalam keadaan di mana mereka pikir dirinya akan mati. Pengalaman ini meninggalkan luka yang dalam pada jiwa anak-anak, membuat mereka mengalami mimpi buruk, terserang kepanikan, kecemasan dan situasi traumatis lainnya.

Sayangnya, ambisi orang-orang dewasa atas nama ideologi, kepentingan politik kekuasaan, ambisi ekonomi dan berbagai alasan absur lainnya telah menimbulkan konflik yang tak habis-habisnya. Maka, benar apa yang ditulis James P. Grant, dalam State of the World’s Children Report, 1990. Menurut Grant, sejak 1929, dunia disibukkan terus-menerus dengan perang: menghadapi perang, ancaman perang, menahan perang, mempersiapkan perang, dan membayar perang. Seluruh derita perang ini, paling berat dipikul oleh anak-anak kita. Kesejahteraan mereka dikorbankan, kesehatan mereka dihancurkan dan masa depan mereka dirusakkan.(*)

Tinggalkan komentar